Powered By Blogger

Kamis, 03 Juni 2010


KH. Abdul Wahab Chasbullah, Perintis Tradisi Intelektual NU (4)
Written on March 2, 2005 – 6:53 am | by DHB Wicaksono |

oleh: Saifullah Ma’shum[*]

Bismillahirrahmanirrahiim

Lahir dan Besar di Pesantren


Kyai Wahab lahir dari pasangan Kyai Chasbullah dan Nyai Lathifah pada bulan Maret 1888 di Tambakberas Jombang. Keluarga Chasbullah,
pengasuh Pondok Tambakberas masih mempunyai hubungan kekerabatan
dengan ulama paling masyhur di awal abad ke-20 yang sama-sama dari
Jombang, yaitu Kyai Haji Hasyim Asy’ari. Nasab keduanya bertemu dalam
satu keturunan dengan Kyai Abdussalam. Konon jika diurut ke atas,
nasab keluarga ini akan bermuara pada Lembu Peteng, salah seorang
raja di Majapahit.


Sepeninggal isteri pertamanya di Mekkah sewaktu menjalankan ibadah
haji tahun 1921, Kyai Wahab memperisteri Alawiyah, puteri Kyai Alwi.
Setelah memperoleh seorang anak, isteri keduanya ini pun meninggal.
Sesudah itu Kyai Wahab pernah tiga kali menikah, tetapi tidak
berlangsung lama dan tidak dikaruniai anak. Kemudian kawin lagi
dengan Asnah, puteri Kyai Said, pedagang dari Surabaya dan memperoleh
empat orang anak, salah satunya Kyai Nadjib (almarhum) yang
melanjutkan mengasuh Pesantren Tambakberas.

Setelah Asnah meninggal, Kyai Wahab menikah dengan Fatimah, anak Haji Burhan dan tidak memperoleh keturunan. Tetapi dari Fatimah beliau
memperoleh anak tiri, diantaranya Kyai Haji A. Sjaichu. Setelah itu
Kyai Wahab pernah kawin dengan Masmah, memperoleh seorang anak. Kawin
dengan Ashikhah, anak Kyai Abdul Madjid Bangil, yang meninggal
setelah beribadah haji dan memperoleh empat orang anak. Terakhir Kyai
Wahab memperisteri Sa’diyah, kakak Ashikhah, sampai akhir hayatnya
pada 1971 dan memperoleh lima orang anak.

Seperti kebanyakan pola hidup yang diterapkan dipesantren, Kyai Wahab juga menganut pola hidup sederhana, meskipun dia tidak bisa
digolongkan sebagai tidak berkecukupan. Untuk memenuhi nafkah
keluarganya, Wahab berdagang apa saja asal halal. Diantaranya pernah
berdagang nila dan pernah menjadi perwakilan sebuah biro perjalanan
haji. Kebanyakan dari bidang usahanya itu dipercayakan kepada orang
lain dengan cara bagi hasil.

Bekal utama bagi pendidikan Wahab kecil yang diberikan sendiri oleh
ayahnya adalah pelajaran agama dan membaca al-Qur’an serta tasawuf.
Baru sesudah dipandang cukup, Wahab berkelana ke berbagai pesantren
untuk berguru, di antaranya di Pesantren Langitan, Tuban; Mojosari,
Nganjuk di bawah bimbingan Kyai Sholeh; Pesantren Cepoko; Pesantren
Tawangsari, Surabaya; Pesantren Kademangan Bangkalan, Madura, dan
langsung berguru kepada Kyai Cholil yang masyhur itu. Oleh Kyai
Cholil, Kyai Wahab disuruh berguru di Pesantren Tebuireng, Di
berbagai pesantren inilah kehidupan Wahab ditempa dan dia mempelajari
banyak kitab penting keagamaan sampai mahir betul.

Pada usia 27 tahun Kyai Wahab meneruskan perjalanannya ke Mekkah. Di kota suci itu dia bertemu dan kemudian berguru dengan Ulama-Ulama
terkenal diantaranya Kyai Machfudz Termias, Kyai Muhtarom Banyumas, Syaikh Ahmad Chotib Minangkabau, Kyai Bakir Yogyakarta, Kyai Asya’ri Bawean, Syaikh Said al-Yamani dan Syaikh Umar Bajened. Semua itu menambah lengkapnya wawasan sosial dan peningkatan pengetahuan keagamaan Kyai Wahab. Melihat riwayat pendidikannya tersebut, tidak heran jika di kalangan Ulama dan para pejuang sebayanya waktu itu Kyai Wahab tampak paling menonjol dari segi pemikiran dan keilmuannya.